Minggu, 29 November 2009

seputar hubungan sutri

Pertanyaan:

Assalaamu’alaikum wr. wb.
Ana mau tanya seputar hubungan suami istri.

  1. Apa hukumya istri melakukan oral sex pada suaminya?
  2. Apa hukumya istri melakukan onani pada suaminya sendiri?

Jazakallah. Wassalaamu’alaikum wr. wb.

pembagian harta waris

Pertanyaan:

Assalamualaikum wr. wb.
Saya baru pertama kali melihat rubrik ini, dan saya sangat tertarik pada segmen ini.

Begini ustadz, beberapa bulan yang lalu, ayah saya meninggal dan sebelumnya, tepatnya 17 tahun yang lalu ibu saya juga telah meninggal terlebih dahulu. Saat ini, saya tinggal bersama ibu ‘tiri’ saya yang tak lain adalah bude (kakak ibu) sendiri. ‘Bude’ saya ini punya 4 orang anak (3 pria & 1 wanita), dan 3 orang diantaranya sudah cukup mapan, serta seorang lagi telah menikah dan mendapatkan harta waris yang cukup banyak daripada yang harta waris yang ditinggalkan ayah saya. Sedangkan saya hanya 2 orang bersaudara (1 pria dan 1 wanita), dan kondisi kami: Saya masih kuliah tingkat akhir dan kakak (pria) saya penghasilannya pas-pasan serta baru ingin membina rumah tangga.

Sepeningalan ayah saya, tidak ada pernyataan tentang harta waris…
Saya tidak terlalu tergiur dengan harta waris tersebut, bagi saya apa yang telah diberikan orang tua saya sudah sangat banyak dan berarti… dan saat ini saya lebih berpikir ke arah bagaimana membalas budi/berbakti kepada mereka… tapi yang saya risaukan adalah bagaimana cara bersikap adil dalam hal ini dan saya berharap sikap tersebut dilandaskan pada hukum islam… namun kendalanya saya ‘buta’ tentang hukum waris tersebut…

Oleh karena itu, saya memohon bantuan bapak ustadz untuk menyelesaikan masalah saya… sehingga semuanya dapat diselesaikan dengan baik, tanpa ada yang terkecewakan…

Mungkin bisa ringkas pertanyaan saya menjadi: Bagaimana tentang jumlah waris yang diterima ‘bude’ dan keluarganya serta kami (kedua bersaudara)? Terimakasih atas waktunya… Wassalamualaikum wr. wb.

merapatkan shaff dalam shalat berjamaah

Pertanyaan:

Assalami’alaikum wr. wb.
Ana mau tany mengenai masalah merapatkan shaf. mana yang benar jika shaf shalat telah rapat, dan tidak memungkinkan masuk baik dalam bariasannya atau disebelah kanan imam, apakah menuggu ma’mum lain atau membentuk shaf walaupun sendiri karena melihat keutamaan shalat berjamaah? semoga ustadz selalu dijaga Allah SWT, was. wr.
wr.


menghilangkan najis bayi yang diberi susu formula

Pertanyaan:

Apakah cara menghilangkan najis kencing bayi laki-laki (berusia 4 tahun) yang sudah diberi susu formula sama dengan cara menghilangkan najis bayi yang masih diberi ASI?
Apakah bisa diqiyaskan antara susu formula tersebut dengan ASI?

menggunakan parfum beralkohol

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum…
Saya bertanya tentang pemakaian parfum yang mengandung alkohol sekian persen di setiap pakaian, baik yang dipakai sehari-hari maupun dipakai ketika shalat. Apakah sah shalatnya, dengan memakai wangi-wangian yang mengandung alkohol dalam kandungan persen yang kecil? Apa tanggapan ustadz, apakah saya boleh menggunakannya ataukah berganti dengan yang non alkohol? Jazakumullah…

Wassalamu’alaikum

menggerakan jari dalam shalat

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum.
Ana mau tanya tentang fiqh sholat.
Ana membaca dari majalah as sunnah edisi 2 thn ini (thn 2005 M -ed), disebutkan ketika tasyahud, disunahkan untuk menggerakkan jari dari awal hingga salam. Yang membuat saya bingung, apakah ketika salam, jari kita masih digerakkan atau berhenti ketika tepat sesaat sebelum salam ke kanan. Jazakallah khoiron.

memelihara ikan hias di akuarium

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Warhamatullahi Wabarakatuhu
Ana ingin tanya, apa hukumnya dan bolehkah memelihara ikan hias di aquarium ? atas jawabannya ana sampaikan. Jazakumullah khairan. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu

melunasi hutang pada orang yang wafat

Pertanyaan:

Bagaimana melunasi utang, apabila orang yang menghutangi sudah meninggal atau tidak diketahui keberadaannya?

mandi junub setelah berhubungan sutri

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum ustad,

  1. Saya ingin bertanya.. apakah setelah berhubungan intim.. wanita dan laki-laki diwajibkan mandi besar/wajib???
  2. Kapan wanita diwajibkan mandi besar/wajib ??

Sukron ya ustad.. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

lafazh nikah

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum,
Apa dalam menikah harus ada suatu lafadz tertentu yang harus diucapkan? Jazakumullah.

uzur dalam shalat berjamaah

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum,
Ustadz, ana mau tanya:

  1. Misalnya kita terlambat bangun atau ketiduran sehingga ketinggalan untuk sholat jamaah di mesjid, apakah kita wajib sholat di masjid walaupun sendiri atau kita bisa sholat dirumah.
  2. Mengingat sekarang musim hujan, ana mau tanya seberapa batasan derasnya hujan agar kita bisa menjama’ sholat, kemudian apakah jika hujan cukup deras dan imam tidak melakukan jama’ sholat kemudia bisakah kita bisa mengingatkan imam agar melakukan jama’ sholat.

tentang poligami

Pertanyaan:

Mengapa Allah mengizinkan poligami?

Jawaban:

Sebelumnya. kami mohon maaf atas keterlambatan jawaban yang kami berikan. Sebelum menjawabnya, perlu kita ketahui bersama sebuah kaidah dalam agama kita bahwa ketika Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan sesuatu, maka syariat yang Allah turunkan tersebut memiliki maslahat yang murni ataupun maslahat yang lebih besar. Sebaliknya, ketika Allah melarang sesuatu maka larangan tersebut pasti memiliki bahaya yang murni maupun bahaya yang lebih besar.

Allah berfirman,

إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An Nahl: 90)

Sebagai contoh Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk bertauhid yang mengandung maslahat yang murni dan tidak memiliki mudarat sama sekali bagi seorang hamba. Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’ala melarang perbuatan syirik yang mengandung keburukan dan sama sekali tidak bermanfaat bagi seorang hamba. Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan jihad dengan berperang, walaupun di dalamnya terdapat mudarat bagi manusia berupa rasa susah dan payah, namun di balik syariat tersebut terdapat manfaat yang besar ketika seorang berjihad dan berperang dengan ikhlas yaitu tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya agama Islam di muka bumi yang pada hakikatnya, ini adalah kebaikan bagi seluruh hamba Allah.

Allah berfirman,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216)

Demikian pula, Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan judi dan minuman keras, walaupun di dalam judi dan minuman keras tersebut terdapat manfaat yang bisa diambil seperti mendapatkan penghasilan dari judi atau menghangatkan badan dengan khamar/minuman keras. Namun mudarat yang ditimbulkan oleh keduanya berupa timbulnya permusuhan di antara manusia dan jatuhnya mereka dalam perbuatan maksiat lainnya jauh lebih besar dibandingkan manfaat yang didapatkan.

Allah berfirman,

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat keburukan yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi keburukan keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al Baqarah: 219)

Setelah kita memahami kaidah tersebut, maka kita bisa menerapkan kaidah tersebut pada syariat poligami yang telah Allah perbolehkan. Tentu di dalamnya terdapat manfaat yang sangat besar walaupun ada beberapa mudarat yang ditimbulkan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh dengan syariat tersebut. Sebagai contoh misalnya: terkadang terjadi kasus saling cemburu di antara para istri karena beberapa permasalahan, maka hal ini adalah mudarat yang ditimbulkan dari praktek poligami. Namun, manfaat yang didapatkan dengan berpoligami untuk kaum muslimin berupa bertambahnya banyaknya jumlah kaum muslimin dan terjaganya kehormatan wanita-wanita muslimah baik yang belum menikah maupun para janda merupakan kebaikan dan maslahat yang sangat besar bagi kaum muslimin. Oleh karena itu, jika kita melihat kebanyakan orang-orang yang menentang syariat poligami adalah orang-orang yang lemah pembelaannya terhadap syariat Islam bahkan terkadang melecehkan syariat Islam. Pemikiran mereka terpengaruh dengan pemikiran orang-orang kafir yang jelas-jelas tidak menghendaki kebaikan bagi kaum muslimin.

Bolehnya melakukan poligami dalam Islam berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)

Bolehnya syariat poligami ini juga dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan para sahabat sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata, “Anehnya para penentang poligami baik pria maupun wanita, mayoritas mereka tidak mengerti tata cara wudhu dan sholat yang benar, tapi dalam masalah poligami, mereka merasa sebagai ulama besar!!” (Umdah Tafsir I/458-460 seperti dikutip majalah Al Furqon Edisi 6 1428 H, halaman 62). Perkataan beliau ini, kiranya cukup menjadi bahan renungan bagi orang-orang yang menentang poligami tersebut, hendaknya mereka lebih banyak dan lebih dalam mempelajari ajaran agama Allah kemudian mengamalkannya sampai mereka menyadari bahwa sesungguhnya aturan Allah akan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Berikut kami sebutkan beberapa hikmah dan manfaat poligami yang kami ringkas dari tulisan Ustadz Kholid Syamhudi yang berjudul “Keindahan Poligami Dalam Islam” yang dimuat pada majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H sebagai berikut:

  1. Poligami adalah syariat yang Allah pilihkan pada umat Islam untuk kemaslahatan mereka.
  2. Seorang wanita terkadang mengalami sakit, haid dan nifas. Sedangkan seorang lelaki selalu siap untuk menjadi penyebab bertambahnya umat ini. Dengan adanya syariat poligami ini, tentunya manfaat ini tidak akan hilang sia-sia. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-3445).
  3. Jumlah lelaki yang lebih sedikit dibanding wanita dan lelaki lebih banyak menghadapi sebab kematian dalam hidupnya. Jika tidak ada syariat poligami sehingga seorang lelaki hanya diizinkan menikahi seorang wanita maka akan banyak wanita yang tidak mendapatkan suami sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kotor dan berpaling dari petunjuk Al Quran dan Sunnah. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-3445).
  4. Secara umum, seluruh wanita siap menikah sedangkan lelaki banyak yang belum siap menikah karena kefakirannya sehingga lelaki yang siap menikah lebih sedikit dibandingkan dengan wanita. (Sahih Fiqih Sunnah 3/217).
  5. Syariat poligami dapat mengangkat derajat seorang wanita yang ditinggal atau dicerai oleh suaminya dan ia tidak memiliki seorang pun keluarga yang dapat menanggungnya sehingga dengan poligami, ada yang bertanggung jawab atas kebutuhannya. Kami tambahkan, betapa banyak manfaat ini telah dirasakan bagi pasangan yang berpoligami, Alhamdulillah.
  6. Poligami merupakan cara efektif menundukkan pandangan, memelihara kehormatan dan memperbanyak keturunan. Kami tambahkan, betapa telah terbaliknya pandangan banyk orang sekarang ini, banyak wanita yang lebih rela suaminya berbuat zina dari pada berpoligami, Laa haula wa laa quwwata illa billah.
  7. Menjaga kaum laki-laki dan wanita dari berbagai keburukan dan penyimpangan.
  8. Memperbanyak jumlah kaum muslimin sehingga memiliki sumbar daya manusia yang cukup untuk menghadapi musuh-musuhnya dengan berjihad. Kami tambahkan, kaum muslimin dicekoki oleh program Keluarga Berencana atau yang semisalnya agar jumlah mereka semakin sedikit, sementara jika kita melihat banyak orang-orang kafir yang justru memperbanyak jumlah keturunan mereka. Wallahul musta’an.

Demikian pula, poligami ini bukanlah sebuah syariat yang bisa dilakukan dengan main pukul rata oleh semua orang. Ketika hendak berpoligami, seorang muslim hendaknya mengintropeksi dirinya, apakah dia mampu melakukannya atau tidak? Sebagian orang menolak syariat poligami dengan alasan beberapa kasus yang terjadi di masyarakat yang ternyata gagal dalam berpoligami. Ini adalah sebuah alasan yang keliru untuk menolak syariat poligami. Dampak buruk yang terjadi dalam sebuah pelaksanaan syariat karena kesalahan individu yang menjalankan syariat tersebut tidaklah bisa menjadi alasan untuk menolak syariat tersebut. Apakah dengan adanya kesalahan orang dalam menerapkan syariat jihad dengan memerangi orang yang tidak seharusnya dia perangi dapat menjadi alasan untuk menolak syariat jihad? Apakah dengan terjadinya beberapa kasus di mana seseorang yang sudah berulang kali melaksanakan ibadah haji, namun ternyata tidak ada perubahan dalam prilaku dan kehidupan agamanya menjadi lebih baik dapat menjadi alasan untuk menolak syariat haji? Demikian juga dengan poligami ini. Terkadang juga banyak di antara penolak syariat poligami yang menutup mata atau berpura-pura tidak tahu bahwa banyak praktek poligami yang dilakukan dan berhasil. Dari mulai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, para ulama di zaman dahulu dan sekarang, bahkan banyak kaum muslimin yang sudah menjalankannya di negara kita dan berhasil.

Sebagaimana syariat lainnya, dalam menjalankan poligami ini, ada syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum melangkah untuk melakukannya. Ada dua syarat bagi seseorang untuk melakukan poligami yaitu (kami ringkas dari tulisan Ustadz Abu Ismail Muslim Al Atsari dalam majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H):

  1. Berlaku adil pada istri dalam pembagian giliran dan nafkah. Dan tidak dipersyaratkan untuk berlaku adil dalam masalah kecintaan. Karena hal ini adalah perkara hati yang berada di luar batas kemampuan manusia.
  2. Mampu untuk melakukan poligami yaitu: pertama, mampu untuk memberikan nafkah sesuai dengan kemampuan, misalnya jika seorang lelaki makan telur, maka ia juga mampu memberi makan telur pada istri-istrinya. Kedua, kemampuan untuk memberi kebutuhan biologis pada istri-istrinya.

Adapun adab dalam berpoligami bagi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut (kami ringkas dari tulisan Ustadz Abu Ismail Muslim Al Atsari dalam majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H):

  1. Berpoligami tidak boleh menjadikan seorang lelaki lalai dalam ketaatan pada Allah.
  2. Orang yang berpoligami tidak boleh beristri lebih dari empat dalam satu waktu.
  3. Jika seorang lelaki menikahi istri ke lima dan dia mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka dia dirajam. Sedangkan jika dia tidak mengetahui, maka dia terkena hukum dera.
  4. Tidak boleh memperistri dua orang wanita bersaudara (kakak beradik) dalam satu waktu.
  5. Tidak boleh memperistri seorang wanita dengan bibinya dalam satu waktu.
  6. Walimah dan mahar boleh berbeda dia antara para istri.
  7. Jika seorang pria menikah dengan gadis, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari. Jika yang dinikahi janda, maka dia tinggal bersamanya selama 3 hari. Setelah itu melakukan giliran yang sama terhadap istri lainnya.
  8. Wanita yang dipinang oleh seorang pria yang beristri tidak boleh mensyaratkan lelaki itu untuk menceraikan istri sebelumnya (madunya).
  9. Suami wajib berlaku adil dalam memberi waktu giliran bagi istri-istrinya.
  10. Suami tidak boleh berjima’ dengan istri yang bukan gilirannya kecuali atas seizin dan ridha istri yang sedang mendapatkan giliran.

Demikian jawaban ringkas yang bisa kami sampaikan, semoaga bermanfaat. Wallahu a’lam.

***

Penanya: Atin
Dijawab: Abu Fatah Amrullah (Alumni Ma’had Ilmi)
Murojaah: Ust. Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc.

tentang onani

Pertanyaan:

Assalamualaikum…
Saya mo tny soal onani itu leh g?
khususnya bg anak muda yang lum menikah. Jazakumulloh khoiro. Wass.

Jawaban:

Berikut kami nukilkan jawaban Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah (seorang ulama di Kerajaan Saudi Arabia) ketika beliau ditanyakan tentang masalah onani. Beliau hafizhahullah ditanya, saya seorang pelajar muslim (selama ini) saya terjerat oleh kebiasaan onani/masturbasi. Saya diombang-ambingkan oleh dorongan hawa nafsu sampai berlebih-lebihan melakukannya. Akibatnya saya meninggalkan shalat dalam waktu yang lama. Saat ini, saya berusaha sekuat tenaga (untuk menghentikannya). Hanya saja, saya seringkali gagal. Terkadang setelah melakukan shalat witir di malam hari, pada saat tidur saya melakukannya. Apakah shalat yang saya kerjakan itu diterima? Haruskah saya mengqadha shalat? Lantas, apa hukum onani? Perlu diketahui, saya melakukan onani biasanya setelah menonton televisi atau video.

Jawaban Syaikh:

Onani/Masturbasi hukumnya haram dikarenakan merupakan istimta’ (meraih kesenangan/kenikmatan) dengan cara yang tidak Allah subhanahu wa ta’ala halalkan. Allah tidak membolehkan istimta’ dan penyaluran kenikmatan seksual kecuali pada istri atau budak wanita.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman.

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki.” (QS. Al-Mu’minun 5-6)

Jadi, istimta’ apapun yang dilakukan bukan pada istri atau budak perempuan, maka tergolong bentuk kezaliman yang haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk kepada para pemuda agar menikah untuk menghilangkan keliaran dan pengaruh negatif syahwat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka hendaklah dia menikah karena nikah itu lebih menundukkan pAndangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi tameng baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita petunjuk mematahkan (godaan) syahwat dan menjauhkan diri dari bahayanya dengan dua cara berpuasa untuk yang tidak mampu menikah, dan menikah untuk yang mampu. Petunjuk beliau ini menunjukkan bahwa tidak ada cara ketiga yang para pemuda diperbolehkan menggunakannya untuk menghilangkan (godaan) syahwat. Dengan begitu, maka onani/masturbasi haram hukumnya sehingga tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun menurut jumhur ulama.

Wajib bagi Anda untuk bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak mengulangi kembali perbuatan seperti itu. Begitu pula, Anda harus menjauhi hal-hal yang dapat mengobarkan syahwat Anda, sebagaimana yang Anda sebutkan bahwa Anda menonton televisi dan video serta melihat acara-acara yang membangkitkan syahwat. Wajib bagi Anda menjauhi acara-acara itu. Jangan memutar video atau televisi yang menampilkan acara-acara yang membangkitkan syahwat karena semua itu termasuk sebab-sebab yang mendatangkan keburukan.

Seorang muslim seyogyanya (senantiasa) menutup pintu-pintu keburukan untuk dirinya dan membuka pintu-pintu kebaikan. Segala sesuatu yang mendatangkan keburukan dan fitnah pada diri Anda, hendaknya Anda jauhi. Di antara sarana fitnah yang terbesar adalah film dan drama seri yang menampilkan perempuan-perempuan penggoda dan adegan-adegan yang membakar syahwat. Jadi Anda wajib menjauhi semua itu dan memutus jalannya kepada Anda.

Adapun tentang mengulangi shalat witir atau nafilah, itu tidak wajib bagi Anda. Perbuatan dosa yang Anda lakukan itu tidak membatalkan witir yang telah Anda kerjakan. Jika Anda mengerjakan shalat witir atau nafilah atau tahajjud, kemudian setelah itu Anda melakukan onani, maka onani itulah yang diharamkan -Anda berdosa karena melakukannya-, sedangkan ibadah yang Anda kerjakan tidaklah batal karenanya. Hal itu karena suatu ibadah jika ditunaikan dengan tata cara yang sesuai syariat, maka tidak akan batal/gugur kecuali oleh syirik atau murtad -kita berlindung kepada Allah dari keduanya-. Adapun dosa-dosa selain keduanya, maka tidak membatalkan amal shalih yang terlah dikerjakan, namun pelakunya tetap berdosa.

(Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilah Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan IV/273-274)

***

Penanya: Ryo
Dijawab: Abu Muslih Ari Wahyudi

tentang beasiswa

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum,
Ustadz, ana mau tanya bagaimana hukumnya mengajukan dan atau menerima beasiswa dari perusahaan yang dimiliki orang kafir atau yang menjual produk/barang2 haram seperti bank2 konvensional, perusahaan rokok dll? Jazakumullah khoir atas jawaban ustadz. Wassalamu’alaikum.

Jawaban Ustadz:

Setahu kami tidak ada orang yang menerima beasiswa kecuali dengan mengajukan permohonan terlebih dahulu, dan mengajukan beasiswa (yang seperti itu -ed) termasuk meminta-minta (baca: mengemis). Pada dasarnya mengemis itu terlarang (baca: haram).

Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda yang artinya:
“Allah membenci tiga hal, kabar burung, meminta-minta dan membuang-buang harta.” (HR. Muslim no. 1715 dan Ahmad 2/367)

Ketika menjelaskan hadits di atas, Syaikh Rabi’ Al Madkhali mengatakan: Su-al dalam hadits di atas mencakup perbuatan meminta harta atau yang lainnya kepada orang lain dan menggantungkan harapan kepadanya. Hal ini tidak pantas bagi seorang muslim yang Allah inginkan supaya menjadi orang yang mulia. Meminta-minta kepada orang lain pada dasarnya hukumnya adalah haram dan tidak diperbolehkan kecuali dalam kondisi darurat. Dalam perbuatan meminta-minta kepada mahluk padahal tidak mendesak, terkandung tiga dampak negatif:

  1. Merasa membutuhkan kepada selain Allah. Hal ini merupakan salah satu jenis kesyirikan.
  2. Menyakiti orang yang dimintai. Hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan menzalimi orang lain.
  3. Menghinakan diri kepada selain Allah dan ini merupakan tindakan menganiaya diri sendiri. (Mudzakkiratul Hadits hal. 37).

Syaikh Muqbil Al Wadi’i mengatakan: Haramnya meminta-minta yang bukan disebabkan kebutuhan. (Dzamm Al Mas’alah hal. 90).

Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Meminta-minta itu membuat jelek wajah seseorang. Oleh karena itu siapa yang ingin mempertahankan wajahnya atau membiarkan wajahnya menjadi jelek, maka silahkan, kecuali meminta-minta kepada orang yang memiliki kekuasaan atau dalam perkara yang tidak boleh tidak harus meminta-minta.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i dan Tirmidzi. Dinilai shahih oleh Syaikh Muqbil dalam Dzamm Al Mas’alah hal. 98)

Hadits di atas menunjukkan adanya 2 bentuk meminta-minta yang diperbolehkan:

  1. Meminta-minta kepada Sulthan (pemerintah/instansi pemerintah).
  2. Meminta-minta karena terpaksa.

Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Seorang yang terus-menerus meminta-minta kepada orang lain itu akan datang pada hari kiamat dalam kondisi tidak ada secuil daging pun di wajahnya.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar)

Beliau shollallahu’alaihiwasallam juga bersabda, “Barang siapa meminta-minta harta milik orang lain untuk memperbanyak harta, maka dia sebenarnya hanya meminta bara api. Oleh karena itu hendaknya dia diperbanyak atau dia kurangi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Beliau shollallahu’alaihiwasallam bersabda, “Barang siapa yang meminta bukan karena faktor kemiskinan itu seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, dinilai shahih oleh Syaikh Muqbil dalam Dzamm Al Mas’alah hal. 91)

Tentu, bekerja pada orang lain (ijarah) itu beda dengan meminta-minta (mas’alah). Su-al (meminta-minta) dalam Al Mu’jam Al Wasith 1/410) didefinisikan dengan “meminta sedekah (dari orang lain -pent)”.

Perlu juga diketahui bahwa menuntut ilmu agama adalah termasuk jihad fi sabilillah, oleh karena itu orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu syar’i itu berhak menerima zakat meskipun sebenarnya dia mampu untuk bekerja, sehingga bisa meminta haknya. Sebaliknya, penuntut ilmu dunia itu tidak untuk dieri zakat. (Lihat Fatawa Arkanil Islam oleh Ibnu Utsaimin hal. 440-441).

***

Penanya: Ipan
Dijawab Oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar

tata rias wajah

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ustadz yang baik apa batasan tata rias untuk wanita yg akan menikah
bolehkah memakai bulu mata palsu? Bolehkah mencabut/mencukur alis sedikit untuk merapikan riasan? Jazakallah.

Jawaban Ustadz:

Islam menganjurkan wanita untuk berhias, akan tetapi dikhususkan untuk para suami mereka, bukan untuk yang lain. Sedangkan tata cara berhias tersebut harus sesuai dengan tuntunan syar’i, tidak menyerupai wanita kafir, tidak mengubah ciptaan Allah dan tidak menyerupai dengan laki-laki. Adapun memakai bulu mata palsu adalah termasuk tadlis dan termasuk mengubah ciptaan Allah. Sama juga seperti mencabut/mencukur alis untuk merapikan termasuk di dalam larangan hadis mencukur alis mencukur alis secara umum. Wallahu a’lam.

***

Penanya: Ika
Dijawab: Ust. Khairul Wazni, Lc.
(Pengajar Pondok Pesantren Islamic Centre Bin Baz)

siapa jodoh saya

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz, Ana sudah sering baca buku bertema keluarga yang termasuk di dalamnya pernikahan, tetapi ketika dihadapi ternyata cukup rumit juga. Yang ana tanyakan, bagaimana kita bisa tau siapa jodoh kita? maksud dari sekufu dalam beragama? bagaimana cara mengetahuinya serta pertanyaan apa saja yang harus diajukan? bagaimana kita bisa tau jawaban dari istikhoroh? Ada yang bilang, jika ijab qobul sudah berkumandang maka kita baru tau itulah jodoh kita, apakah harus seperti itu, bukankah itu hal yang sangat riskan? mohon bimbingannya Ustadz. Jazakumullah khoiron.

Jawaban Ustadz:

Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarakatuh.
Bimbingan yang sempurna dalam hal ini adalah nasihat Rasul kita Muhammad, “Nikahilah olehmu wanita itu karena empat perkara; karena kecantikannya, karena kekayaannya, karena keturunannya, karena agamanya, pilihlah yang agamanya bagus, niscaya kamu akan beruntung.”

Kedua, melakukan sholat istikharah, tahunya jawaban istikharah adalah dari segi kemudahan dan tidak ada hambatan yang begitu sulit, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits doa istikharah tersebut, yaitu kita mohon kemudahan pada Alloh, kemudian hati jadi mantap untuk memilih apa yang kita inginkan, kalau Alloh tidak menakdirkan maka hal itu berarti tidak diridhoi Alloh, dari sini kita tahu jawaban istikharah. Adapun cara-cara lain yang Anti tanyakan, Ana gak bisa jawab sebab hal itu tergantung kepada pribadi masing-masing orang, apa yang mau ia tanyakan. Boleh jadi ia akan bertanya tentang jenjang pendidikan, penyakit yang pernah diderita, jumlah saudara, profesi, pengalaman, pengajian yang selalu dihadirinya, dll.

***

Penanya: Winna
Dijawab Oleh: Ustadz Ali Musri

sholat sambil menggendong anak

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.
Ketika berbincang dengan teman yang sudah menjadi ummahat, beliau bercerita, jika ia sedang sholat dan si anak mengangis maka ia akan ambil anaknya dan menggendongnya, jadi ia sholat dengan tetap menggendong si anak. Ketika ana tanyakan padanya, apakah rasul dulu juga seperti itu? ia bilang ya, apakah itu benar ustadz? apakah sholatnya tetap sah? karena setahu ana kan hanya diperbolehkan tiga gerakan saja? bagaimanakah sholat Rasulullah. Jazakumullah jika dijelaskan, ini sangat berguna jika sudah menjadi ummahat kelak. tentunya seorang ibu akan sangat resah jika anak menangis, sholat tdk dapat khusyu’ dan tentunya akan ringan rasa itu jika diperbolehkan menggendong anak dalam sholat.

Jawaban Ustadz:

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rosululloh, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya hingga hari kiamat, amiin.

Langsung saja, betul, dahulu Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam kadang kala mengangkat cucunya, Hasan, Husain, Umamah rodhiallohu anhum ketika sedang sholat, bahkan suatu saat ketika beliau sedang sholat, beliau menggendong cucunya yang bernama Umamah bin Abil ‘Ash, sehingga ketika sedang berdiri, beliau menggendongnya, dan ketika ruku’ dan sujud, beliau menurunkannya, padahal kala itu beliau sholat mengimami para sahabatnya. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhori dan Muslim dan juga lainnya. Oleh karena itu para ulama’ menegaskan bahwa boleh bagi orang yang sedang sholat untuk mengangkat, atau menggendong anak kecil.

Akan tetapi ada satu hal yang perlu diingat, yaitu ketika kita hendak menggendong anak kecil dalam sholat, maka anak tersebut harus dalam keadaan suci, tidak sedang ngompol, atau bajunya dalam keadaan najis, atau mengenakan popok atau diapers yang tentunya berisikan najis. Sebab orang yang sedang sholat diperintahkan untuk meninggalkan atau melepaskan setiap yang najis dari pakaian, atau sandal atau kaus kaki atau tempat ia sholat.

Dengan demikian bila anak kita mengenakan diapers, maka kita tidak boleh menggendongnya, karena biasanya si anak telah pipis atau bahkan buang air besar di dalamnya, sehingga bila kita menggendongnya berarti kita membawa najis ketika sedang sholat, dan ini tentunya terlarang. Dahulu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah sholat mengenakan sandal, dan ketika di tengah-tengah sholat tiba-tiba beliau melepaskan kedua sandalnya, sehingga para sahabat pun ikut-ikutan melepaskan sandalnya. Seusai sholat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ia diberi tahu oleh Malaikat Jibril bahwa di sandalnya terdapat kotoran (najis), oleh karena itu beliau melepaskan sandalnya. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Al Baihaqi, Ad Darimi dan lain-lain. Semoga jawaban pendek nan singkat ini cukup memberikan gambaran bagi kita semua. Wallohu a’lam bisshowab.

***

Penanya: Winna
Dijawab Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri

shalat di mushalla atau mesjid

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

  1. Rumah ana dekat dengan mushola (surau) dan tidak jauh dengan masjid, dimanakah sebaiknya ana shalat?
  2. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang shalat di masjid yang ada kuburannya, bagaimana hukum rumah yang berada disamping/gandeng sama kuburan?

Jazakumullah khairan katsiran
Wassalamu’laikum warahmatullahi wabarakatuh

Jawaban:

Wa’alaikumusalam warahmatullaahi wabarakaatuh

Syaikh Al-’Utsaimin ketika menjelaskan tentang tempat mana yang lebih utama untuk shalat berjamaah dan membahas pendapat-pendapat seputar permasalahan ini akhirnya beliau berkesimpulan, “Pendapat yang benar ialah sesungguhnya yang lebih utama adalah hendaknya Anda shalat di masjid di dekat anda karena hal ini merupakan sebab pemakmuran masjid tersebut kecuali apabila masjid yang lebih jauh tersebut memiliki keistimewaan maka ia lebih diutamakan, seperti misalnya apabila anda berada di kota Madinah atau di Mekkah maka ketika itu yang lebih utama adalah anda shalat di Masjidil Haram apabila berada Mekkah dan di Masjid Nabawi apabila berada di Madinah, itulah yang lebih utama daripada shalat di masjid yang ada di dekat tempat tinggal anda.” Di bagian lain beliau juga mengatakan, “Maka kesimpulannya adalah yang lebih utama, Anda shalat di masjid setempat di mana Anda tinggal sama saja apakah jamaahnya banyak atau sedikit karena banyaknya manfaat yang timbul dengan menerapkan hal itu…” (Syarah Shalatil Jama’ah, hal. 29 dan 30 Darul Kutub ‘Ilmiyah).

Pendapat serupa juga didukung oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam kitab beliau Mulakhash Fiqhi jilid 1 hal. 201, penerbit Darul ‘Ashimah. Dan yang dimaksud masjid dalam pengertian syariat adalah bangunan khusus yang didirikan untuk melaksanakan shalat dan mengingat Allah (Tafsir Al-Baghawi, Maktabah Syamilah, tafsir Surat Jin: 18). Maka termasuk dalam istilah masjid apa yang disebut oleh masyarakat kita sebagai surau atau musholla, wallahu a’lam.

***

Ketika menjelaskan hadits, “Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagaimana kuburan.” Ibnu Hajar mengatakan:

فَإِنَّ ظَاهِره يَقْتَضِي النَّهْي عَنْ الدَّفْن فِي الْبُيُوت مُطْلَقًا

“Sesungguhnya zahir hadits ini menunjukkan terlarangnya mengubur mayat di dalam rumah secara mutlak.” (Fathul Bari, 2/155. Maktabah Syamilah). Adapun rumah yang berada di samping kuburan maka kami tidak mengetahui kalau ada dalil yang melarangnya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Wallaahu a’lam.

***

Penanya: Abu Evi
Dijawab: Abu Muslih Ari Wahyudi

shalat jamak

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya seorang pemuda yang sangat minim dengan ilmu keagamaan, yaitu agama Islam tentunya yang di dalamnya terdapat syariat-syariat. Saya cuma ingin menanyakan masalah yang berhubungan dengan Shalat. yakni Apakah Shalat Jamak itu? dan bagaimana cara melaksanakannya? Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jawaban:

Sholat jamak adalah 2 sholat wajib yang dilakukan pada salah satu waktu sholat wajib tersebut. Contoh: sholat magrib dan sholat isya dilakukan pada waktu magrib atau pada waktu isya.

Dalilnya adalah sabda Rosululloh shollallahu ‘alahi wa sallam dari Muadz bin Jabal bahwa Rosululloh shollallahu ‘alahi wa sallam apabila beliau melakukan perjalanan sebelum matahari condong (masuk waktu sholat zuhur), maka beliau mengakhirkan sholat zuhur kemudian menjamaknya dengan sholat ashar pada waktu ashar, dan apabila beliau melakukan perjalanan sesudah matahari condong, beliau menjamak sholat zuhur dan ashar (pada waktu zuhur) baru kemudian beliau berangkat. Dan apabila beliau melakukan perjalanan sebelum magrib maka beliau mengakhirkan sholat magrib dan menjamaknya dengan sholat isya, dan jika beliau berangkat sesudah masuk waktu magrib,maka beliau menyegerakan sholat isya dan menjamaknya dengan sholat magrib. (Hadits shohih Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi). Dari dalil di atas dapat diambil pelajaran:

  1. Sholat zuhur hanya boleh dijamak dengan sholat ashar dan sholat magrib hanya boleh dijamak dengan sholat isya.
  2. Sholat subuh tidak boleh untuk dijamak, karena tidak adanya dalil yang membolehkan hal ini.
  3. Kedua sholat yang dijamak boleh dikerjakan pada salah satu dari kedua waktu sholat tersebut.
  4. Safar merupakan salah satu sebab dibolehkannya menjamak sholat.

Sebab-sebab yang membolehkan sholat untuk dijamak antara lain:

  1. Safar: Dalilnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
  2. Hujan: Dalilnya adalah dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yakni: Rosululloh menjamak sholat magrib dan isya pada malam yang hujan. Dalil lainnya yaitu salah satu perbuatan sahabat, dari Nafi’: bahwa Abdulloh Ibnu Umar sholat bersama para umara (pemimpin) apabila para umara tersebut menjamak sholat magrib dan isya pada waktu hujan.
  3. Sakit atau adanya hajat yang mendesak dan menghalangi untuk mengerjakan sholat-sholat wajib tersebut pada waktunya. Diriwayatkan dari Imam Muslim bahwa Rosululloh menjamak antara sholat zuhur dan ashar dan antara sholat magrib dan Isya bukan karena rasa takut dan hujan. Pada riwayat lain (bukan karena rasa takut dan safar). Syaikh Abdulloh Ali Bassam (pada kitab Taisirul ‘Alam) menyebutkan bahwa alasan Rosululloh mengerjakan itu adalah karena sakit. Beliau beralasan dengan bolehnya wanita yang istihadhoh untuk menjamak sholat di mana istihadhoh ini adalah termasuk salah satu penyakit.

Imam Nawawi berkata (dalam Syarah Shohih Muslim), “Sebagian Ulama berpendapat bolehnya menjamak sholat ketika tidak sedang safar karena adanya hajat yang menghalangi. Selama hal ini tidak dijadikan kebiasaan. Alasannya adalah berdasarkan perkataan Ibnu Abbas ketika beliau ditanya mengapa Rosululloh melakukan hal tersebut (menjamak bukan karena rasa takut, hujan ataupun safar) maka Ibnu ‘Abbas menjawab, “beliau tidak ingin menyulitkan umatnya”. Di mana zhohir dari perkataan Ibnu ‘Abbas ini tidak menunjukkan satu alasan pun baik itu sakit ataupun selainnya yang menunjukkan mengapa Rosululloh melakukan hal tersebut.” Wallohu a’lam.

Maroji:

  1. Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz karangan Syaikh Abdul ‘Azhim Al-Badawi.
  2. Taisirul ‘Alam Syarh Umdatul Ahkam karangan Syaikh Abdulloh bin Abdurrohman bin Sholih Ali Bassam.

***

Penanya: Awan
Dijawab Oleh: Abu Uzair Boris Tanesia (Staf Pengajar LBIA)
Murojaah: Ustadz Abu Saad

seputar shalat dan baca al-qur'an

Pertanyaan:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Saya mao tanya soal sholat fardhu terutama sholat berjamaah…

  1. Misalnya saya makmum yg terlambat masuk ke dalam jamaah (masbuq y?)… hanya mendapati 2 rekaat/3 rekaat (misalnya dalam sholat dhuhur)… nah apabila telah sampai pada rekaat terakhir dan telah sampai tasyahud akhir… apakah kita ikut duduk tasyahud akhir seperti imam? atau duduk iftirasy seperti pada tasyahud awal? (mohon disertakan dengan dalilnya).
  2. Lalu kita bangun untuk melengkapi rekaat kita ysg kurang itu pada saat imam telah mengucapkan salam pertama atau kedua? (dalil?).
  3. Apakah klo sholat fardhu seperti shubuh atau pada sholat2 sunnah 2 rekaat… duduk tasyahud akhirnya menggunakan duduk iftirasy (seperti duduk tasyahud awal)?
  4. Soal baca Alqur’an… saya ingin tanya ketika akan mulai membaca Al Qur’an… apabila dimulai ditengah surat (misalnya dimulai dari ain) apa harus membaca bismillah jg setelah taawudz atau hanya membaca taawudz saja tanpa membaca bismillah?

Catatan:
Maaf klo ada kesalahan dalam istilah dan lafal… ini dikarenakan ketidakmengertian saya… terima kasih

Jawaban:

Wa’alaikumsalam warahmatullaahi wabarakaatuh

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian mendatangi shalat (jamaah) sedangkan imam berada dalam suatu keadaan maka lakukanlah sebagaimana yang dilakukan oleh imam.” (HR. Tirmidzi, sahih. Lihat Al-Wajiz, hal. 129. lihat juga Mulakhash Fiqhi, 1/206). Maka apabila imam duduk tawarruk maka kita pun duduk tawarruk. Allaahu a’lam.

***

Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata, “Apabila imam sudah membaca salam yang kedua maka makmum bangkit untuk menyempurnakan rakaat yang kurang dari shalat tersebut dan tidak bangkit sebelum salam kedua.” (Mulakhash Fiqhi, 1/206). Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya (dari berbicara) adalah takbir. Dan yang menghalalkannya (untuk berbicara) adalah bacaan salam.” (HR. Tirmidzi dan dinilai sahih oleh Al-Hakim). Ini menunjukkan bahwa bacaan salam merupakan penutup dari rangkaian shalat. Sedangkan salam yang kedua juga masih disebut sebagai taslim (bacaan salam). Maka hendaknya makmum masbuk itu tidak bangkit sebelum imam menyelesaikan salamnya yang kedua. Wallaahu a’lam.

***

Syaikh Al-Albani berkata, “Kemudian beliau (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk untuk membaca tasyahud sesudah selesai dari rakaat kedua. Apabila shalat tersebut dua raka’at seperi shalat subuh maka beliau “Duduk iftirasy.” (HR. Nasa’i (1/173) dengan sanad sahih), sebagaimana posisi beliau duduk di antara dua sujud. Demikian juga tata cara duduk beliau apabila duduk untuk tasyahud awal dari shalat yang tiga atau empat rakaat…” (Sifat Shalat Nabi, hal. 156).

***

Allah ta’ala berfirman yang artinya,

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila engkau hendak membaca Al Quran maka mintalah perlindungan kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98)

Dengan dasar ayat ini Syaikh Al-’Utsaimin menyatakan bahwa salah satu adab membaca Al Quran adalah dengan membaca ta’awwudz terlebih dulu. Beliau berkata, “Hendaknya meminta perlindungan kepada Allah dari godaan syaithan yang terkutuk…” kemudian beliau menyebutkan ayat ini. Beliau juga berkata, “Adapun basmalah, maka apabila dia mengawali bacaannya di tengah-tengah surat maka tidak perlu membaca basmalah. Dan apabila di awal surat maka membaca basmalah kecuali di awal surat At-Taubah karena di awalnya memang tidak ada basmalah…” (lihat Majalis Syahri Rahmadhan). Wallahu a’lam.

***

Penanya: Reza
Dijawab: Abu Muslih Ari Wahyudi

seputar permasalahan korupsi kolusi dan nepotisme

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum,
Saya mempunyai permasalahan yang perlu akan pemecahan. Saya sangat mengharapkan jawaban dari Ustadz, kalau bisa beserta dalil-dalil dari pendapat Ustadz.

Ayah saya seorang pengusaha Sablon, Reklame, dan Percetakan. Usaha ini telah dijalankan cukup lama. Sebagaimana diketahui bersama bahwa masalah KKN (Korupsi, Korupsi dan Nepotisme) bisa dikatakan sudah menjadi budaya dikalangan pegawai pemerintah di Indonesia. Biasanya pegawai pemerintah yang korupsi bekerjasama dengan suatu perusahaan tertentu.

Sungguh suatu musibah, Ayah saya bekerjasama dengan pegawai pemerintah yang korupsi tersebut. Bentuk kerjasama dengan pegawai yang korupsi tersebut yaitu Pihak pegawai pemerintah memberikan order atau memesan suatu barang kepada Ayah. Kemudian ketika pembayaran Ayah saya membesarkan harga pada bukti pembayaran dari harga biasa, misalkan untuk pembuatan spanduk harga aslinya Rp. 80.000 tetapi pada bukti pembayaran ditulis Rp. 100.000. Uang yang diterima Ayah tetap sebesar Rp. 80.000, sedangkan Rp. 20.000 untuk pegawai yang bersangkutan. Jadi Ayah menulis harga melebihi harga asli pada bukti pembayaran, tetapi ayah tetap menerima harga seperti biasa.

Dari hasil kerjasama dengan PNS yang korupsi tersebut Ayah bisa membeli mobil kijang, membangun bedeng , dan membesarkan usaha yaitu memberi peralatan dan barang-barang alat tulis kantor. Jadi, kebanyakan peralatan usaha berasal dari harta hasil kerjasama dengan PNS tersebut. Ayah saya juga banyak menerima pesanan dari Dirjen Pajak, Bank-bank konvensional dan acara-acara bid’ah.

Pertanyaan saya:

  1. Bagaimana hukum harta dari kerjasama dengan pegawai pemerintah yang korupsi tersebut?
  2. Bagaimana hukum harta tersebut bagi keluarganya?
  3. Bagaimanakah sikap saya sebagai anak terhadap harta tersebut?
  4. Apa yang harus saya lakukan jika harta dan usaha ayah tersebut diserahkan kepada saya? Apakah harta tersebut harus saya kembalikan kepada pihak pemerintah, karena harta tersebut berasal dari pemerintah?

Kiranya ustadz berkenan membantu menyelesaikan permasalahan saya ini. Saya harapkan jawaban secepatnya. Semoga Allah menjauhkan diri kita dari harta yang haram dan menguatkan hati kita diatas kebenaran. Jazakumullah Khairan Katsirah.

Jawaban Ustadz:

Nabi shollahu’alaihiwasallam bersabda, “Barangsiapa menipu maka dia bukan termasuk golongan kami.” (HR. Muslim 1/99). Oleh karena itu harta yang didapat dari cara yang haram (baca: menipu) merupakan harta yang haram.

Nabi shollahu’alaihiwasallam bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari harta yang haram maka neraka adalah tempat yang layak untuknya.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Kabir 19/136, Shahih Jami’ No. 4495). Sebagai anak, hendaknya kita segera bersikap mandiri sehingga tidak bergantung dari pemberian orang tua.

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah akan memudahkan segala persoalan.” (QS. Ath-Thalaaq: 4)

Karena harta tersebut bukan hak kita, maka kita harus mengembalikannya kepada yang berhak. Jika tidak memungkinkan, maka hendaknya kita manfaatkan untuk kepentingan umum.

Syaikh Abdullah Al-Jibrin mengatakan:
“Tidak disangsikan lagi bahwa hakekat harta adalah milik Allah. Dia berikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki, harta bisa berstatus harta haram bagi seseorang. Harta menjadi harta yang kotor bagi orang yang mendapatkannya dengan cara mencuri, merampas, mencopet, riba, suap, menipu, perdagangan, khamr, dll. Keharaman harta ini khusus berkaitan dengan interaksi dengan orang tersebut, perampas, rentenir, dst.

Oleh karena itu jika harta haram tersebut dimanfaatkan untuk hal-hal sesuai dengan syariat maka diperbolehkan. Oleh karena itu umat Islam mengambil jizyah dari hasil penjualan khamr, dll. Umar rhodiallahu’anhu mengatakan, “Urusan mereka transaksi khamr akan tetapi ambillah dari hasilnya jizyah dan kharraj/pajak tanah.” Allah juga membolehkan untuk kita harta rampasan perang dari orang kafir meskipun harta tersebut dari hasil penjualan khamr, babi, dan bea cukai.

Mengingat hal di atas, maka bunga bank itu tidak halal dimanfaatkan oleh pemilik tabungan tetapi bunga tersebut tidak boleh dibiarkan dimanfaatkan oleh orang-orang kafir untuk membangun gereja dan memerangi kaum muslimin. Uang bunga tersebut bisa diberikan kepada fakir miskin, membangun masjid dan berbagai kegiatan sosial yang bermanfaat untuk kaum muslimin. Karena uang tersebut kembali kepada kaum muslimin, maka uang tersebut berstatus uang halal dan sifat kotornya sudah hilang, sebagaimana hasil penjualan babi dan hasil melacur itu untuk kepentingan-kepentingan umum, orang-orang lemah, fakir miskin, dll jika pelakunya sudah bertaubat.” (Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram - cet. Dar Ibnul Haitsam hal. 454).

***

Penanya: Arno Kurniawan
Dijawab oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar

seputar mandi junub dan hukum berciuman ketika bertemu

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum pak ustadz,
Saya mau bertanya,

  1. Saya seorang muslimah umur 19, saya ingin mengetahui bagaimana hukumnya jika seorang wanita yang sedang haid, lalu mengumpulkan rambut kepalanya, kemudian ikut disucikan pada saat mandi besar/mandi mensucikan diri setelah haid. apa hukumnya dan apa dasar hukumnya dalam hadist ataupun Alquran. Mohon dijelaskan karena saya belum faham benar tentang masalah ini.
  2. Apa hukumnya jika seorang wanita dengan wanita berciuman pipi. Dalam hal ini bukan karena nafsu tapi karena suatu kebiasaan pada saat bertemu dengan teman atau saudara. Apa hukumnya dalam islam. Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamu’alaikum

Jawaban Ustadz:

Ibnu Taimiyyah mendapat pertanyaan tentang seorang laki-laki yang dalam kondisi junub memotong kuku atau kumisnya atau menyisir rambut, apakah hal tersebut berdosa?, ada orang yang mengatakan, “Jika orang yang sedang junub memotong rambut atau kukunya maka rambut/kuku tersebut akan kembali ke tubuh orang tersebut. Sehingga orang tersebut bangkit pada hari kiamat dalam keadaan masih berjunub sesuai dengan bagian tubuhnya yang belum terkena air mandi junub. Setiap helai rambut membawa bagian dari junub.” Apakah memang demikian ataukah tidak?

Jawaban Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

“Terdapat Hadits Nabi dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, tatkala permasalahan junub kepada Nabi shollahu’alaihiwasallam, beliau bersabda, ‘Orang beriman itu tidak najis.’ (HR. Bukhori, Muslim dll). Dalam Mustadrak karya Imam Hakim terdapat tambahan keterangan ‘baik ketika masih hidup atau sesudah mati’. Kami tidak mengetahui adanya dalil syar’i yang memakruhkan perbuatan memotong rambut atau kukunya bagi orang yang sedang junub. Bahkan Nabi pernah bersabda kepada orang yang baru masuk Islam, ‘Hilangkan rambutmu yang menjadi tanda kekafiran dan berkhitanlah.’ (Lihat Al-Wajiz hal. 23).

Dalam Hadits di atas, Nabi memerintahkan orang yang baru masuk Islam untuk mandi dan Nabi tidak memerintahkannya untuk menunda pelaksanaan khitan dan memotong rambut sampai mandi terlebih dahulu. Pernyataan Nabi yang bersifat mutlak itu menunjukkan dua alternatif tersebut, yaitu mandi dahulu atau khitan dahulu adalah diperbolehkan. Demikian juga wanita yang haidh yang diperintahkan untuk bersisir saat mandi padahal bersisir itu merontokkan sebagian rambut.” (Majmu Fatawa 21/120-121).

Jadi tindakan mengumpulkan rambut atau potongan rambut lalu ikut disuakan waktu mandi besar adalah perbuatan yang tidak berdasar.

***

Dari Sya’bi, “Ketika Rasulullah shollahu’alaihiwasallam berjumpa dengan Ja’far bin Abu Thalib (sepulang dari Habasyah, -pent), beliau memeluknya dan mencium bagian dahi yang terletak diantara kedua matanya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 5/247, Abu Daud 5220 dan Ibnul Arabi (bukan Ibnu Arabi tokoh sufi itu) dalam Al-Qubal wal Mu’anaqah no. 38), Hadits ini sanadnya hasan tapi mursal karena Sya’bi adalah seorang tabi’in.

Dari Sulaiman bin Daud, beliau mengatakan, “Aku melihat Sufyan Ats-Tsauri dan Ma’mar ketika bertemu saling berpelukan dan saling berciuman.” (Riwayat Abdur Razaq dalam Al-Mushannaf 11/442, sanadnya shahih)

Meskipun demikian, makna eksplisit kedua riwayat di atas menunjukkan kalau ciuman tersebut terjadi sesudah lama tidak bersua. Adapun menjadikan hal tersebut sebagai kebiasaan maka hal tersebut merupakan kebiasaan orang-orang yang tidak punya rasa malu, oleh karena itu lebih baik untuk ditinggalkan. Disamping karena tindakan yang menunjukkan hilangnya rasa malu, ciuman seperti itu sering untuk tendensi duniawi dan hal ini termasuk di antara sarana untuk pamer/riya’.

Sebenarnya ada riwayat yang melarang berciuman akan tetapi sanadnya munkar. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Hanzhalah As-Sadusi dari Anas bin Malik (HR. Ahmad 3/198, Thirmidzi no. 2729, Ibnu Majah no. 3702 dll). Oleh karena itu Hadits ini tidak bisa dijadikan dalil. (Ahkamul Qubal wal Mu’anaqah wal Mushafahah wal Qiyam karya Amr Abdul Mun’im, cet. Muassasah Ar-Rayyah hal. 41).

***

Penanya: Aria
Dijawab Oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar

kedudukan hadits mengenai fadhilah surat yassin

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum,
Mohon penjelasan kedho’ifan tentang hadits di bawah ini sanadnya kuat/tidak serta perawinya, afwan cuman artinya saja:

  1. “Siapa yg membaca surat yasiin dengan tulus ikhlas krn Allah, maka diampunkan baginya dosa-dosa yang lalu, maka bacakanlah pada orang-orang yang akan mati/orang yang telah mati.” (HR. Baihaqi)
  2. “Dari Anas rodhiallahu’anhu. ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda “Sesungguhnya setiap sesuatu itu mempunyai hati, adapun hati Al Qur’an adalah Yasiin. siapa membaca yasiin maka, Allah menulis baginya dengan membacanya itu seperti membaca AlQur’an sepuluh kali.” (HR. Tirmidzi)

Mohon penjelasan sanadnya sampai Rasul atau tidak. jazakumullah khoir. Wassalamu’alaikum.

Jawaban Ustadz:

Pertama,
“Bacakan Yasin untuk orang-orang yang akan meninggal dunia.”

Takhrij atau telusur Hadits tersebut adalah:

Hadits ini diriwayatkan oleh:

  1. Ahmad 5/26, 27
  2. Nasai dalam ‘Amal Al-Yaumi wal Lailah no. 1074
  3. Ibnu Majah no. 1448
  4. Ath-Thayalisi no. 931
  5. Ibnu Abi Syaibah 3/237
  6. Ibnu Hibban no. 3002
  7. Abu ‘Ubaid dalam Fadhail Al-Qur’an no. 185
  8. Thabrani dalam Al-Kabir 20/510
  9. Hakim 1/565
  10. Baihaqi 3/383 dan Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah no. 1463 dari Ma’qil bin Yasar.

Yang bermasalah dalam Hadits ini adalah rawi yang bernama Abu ‘Utsman. Abu Bakar Ibnul Arabi (bukan Ibnu Arabi tokoh sufi -ed) menukil bahwa Daruquthni mengatakan, “Ini adalah hadits yang lemah dari sisi sanadnya, lagi majhul matannya. Dan tidak ada satupun Hadits yang shahih berkenaan tentang keutamaan surat Yasin.”

Hadits ini dinilai lemah oleh An-Nawawi dalam Al-Adzkar hal. 132 dan Tahdzibul Asma’ wal Lughat 2/2/106. Ibnu Hajar dalam Amali Al-Adzkar sebagai mana dalam Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah 4/118 serta Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 11.

Kedua,
Takhrij Hadits ini adalah:

Hadits ini diriwayatkan oleh:

  1. Tirmidzi no. 2887
  2. Darimi no. 3416
  3. Al-Qadha’iy dalam Musnad Syihah no. 1035
  4. Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya, 4/167

Dalam Hadits tersebut ada 2 perawi yang bermasalah:

  1. Harun Abu Muhammad, majhul (tidak diketahui identitasnya) menurut Tirmidzi dan Muttaham (tertuduh berdusta) dalam Hadits ini menurut Imam Adz-Dzahabi.
  2. Muqatil yaitu Muqatil bin Sulaiman. Tentang beliau, Abu Hatim Ar-Razi mengatakan “Muqatil ini adalah Muqatil bin Sulaiman. Saya melihat Hadits ini di awal kitab yang dipalsukan oleh Muqatil bin Sulaiman dan ia adalah Hadits batil, tidak ada asalnya.” (Al-Ilal, 2/55).

Kesimpulan:

Hadits ini dinilai palsu oleh imam Al-albani dalam Silsilal Ahadits Dhaifah no. 169.

Referensi:

(1) Maj. An-Nashihah vol. 06 Th. 1 2004 M hal. 50-59
(2) Asy Syarh Al-Mumti’, cet. Muassasah Asam jilid 5 hal. 318-319
(3) Ahkamul Janaiz, Al-Maktabah Al-Islamiy hal. 11

***

Penanya: Azib
Dijawab Oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar

surga yang pernah ditempai nabi adam

Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr. Wb.
Pertanyaan saya mengenai surat Al A’raf ayat 19. Ketika disebutkan setelah diciptakan Adam as berdiam di surga, yang dimaksud surga itu apakah surga yang dijanjikan Allah SWT, atau surga di tempat lain? ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa surga itu tempat yang sangat indah di bumi. Terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jawaban Ustadz:

بسم الله الرحمن الرحيم

Ulama’ berbeda pendapat dalam permasalahan ini, jumhur (kebanyakan) ulama’ berpendapat bahwa surga yang dimaksud adalah surga yang ada di langit, yang kelak akan di huni oleh kaum mukminin, diantara dalil yang menguatkan pendapat ini ialah hadits As Syafa’ah berikut:

عن حذيفة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (يجمع الله تبارك وتعالى الناس فيقوم المؤمنون حتى تزلف لهم الجنة فيأتون آدم فيقولون يا أبانا استفتح لنا الجنة فيقول وهل أخرجكم من الجنة إلا خطيئة أبيكم آدم). رواه مسلم

“Diriwayatkan dari sahabat Huzaifah radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Allah Yang Berkah dan Maha Tinggi akan mengumpulkan manusia, kemudian ketika surga telah didekatkan, maka kaum mukminun akan bangkit, dan mendatangi Nabi Adan alaihissalam, kemudian mereka akan berkata kepadanya: ‘Wahai bapak kami, mohonlah agar surga segera dibukakan untuk kami.’ Maka beliau menjawab: ‘Tidaklah ada yang mengeluarkan kamu dari surga, melainkan kesalahan bapakmu Adam?’” (HRS Muslim)

Dan juga hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berikut ini:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : احتج آدم وموسى عليهما السلام عند ربهما فحج آدم موسى. قال موسى: أنت آدم الذي خلقك الله بيده ونفخ فيك من روحه وأسجد لك ملائكته وأسكنك في جنته ثم أهبطت الناس بخطيئتك إلى الأرض. رواه مسلم

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam bersabda: Nabi Adam dan Nabi Musa ‘alaihimassalam pernah berdebat disisi Allah, maka Nabi Adam berhasil mengalahkan Nabi Musa. Nabi Musa berkata: ‘Wahai Adam, engkaulah orang yang Allah ciptakan langsung dengan Tangan-Nya, dan Allah meniupkan ruh-Nya kepadamu, dan memerintahkan para Malaikat untuk bersujud kepadamu, dan Allah juga telah memberimu kesempatan untuk tinggal di surga-Nya, kemudian engkau karena dosamu menurunkan seluruh manusia (anak keturunanmu) ke bumi.’” (HRS Muslim)

Dari kedua hadits ini dan juga dalil-dalil lain jumhur ulama’ berpendapat bahwa surga yang pernah dihuni Nabi Adam ‘alaihissallam beserta istrinya Hawa adalah surga yang ada di langit, bukan surga dengan pengertian taman yang indah yang ada di bumi.

Walau demikian ada sebagian ulama salaf yang berpendapat bahwa surga yang dimaksud ialah surga khusus yang telah Allah siapkan untuk menguji Nabi Adam ‘alaihissallam bersama istrinya Hawa. Kemudian ulama’ yang berpendapat demikian ini terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama mengatakan: Surga khusus ini berada di langit, dan kelompok kedua mengatakan bahwa letak surga khusus ini ada di bumi.

Ulama’ yang mengatakan pendapat kedua ini beralasan: karena Nabi Adam ‘alaihissallam dan istrinya Hawa mendapatkan tugas agar tidak memakan satu jenis buah suatu pohon, dan Nabi Adam ‘alaihissallam tidur, dan juga Iblis dapat masuk ke dalamnya, semua ini menunjukkan bahwa surga yang dimaksud bukanlah surga yang akan dihuni oleh kaum mukminin kelak setelah datangnya hari qiyamat.

Bila di amati lebih jauh, maka pendapat jumhur ulama’ lebih kuat, karena didukung oleh pemahaman kedua hadits di atas.

Demikianlah secara singkat jawaban pertanyaan ini, bagi yang ingin mendapatkan penjelasan lebih banyak, silahkan baca kitab Al Bidayah wa An Nihayah 169-dst, oleh Ibnu Katsir rahimahullah, dan juga Al Qurtubhi dalam Tafsir-nya 1/302 -dst.

***

Tingkat pembahasan: Dasar
Penanya: Novi
Dijawab oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri

haramnya demonstrasi

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz, adakah dalil yang dengan tegas mengharamkan demonstrasi? Saya mendengar dari seorang kawan, ada sebuah kisah tentang Umar rodiallahu’anhu yang demo, tapi didiamkan saja oleh Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam? Jazakallah khoiron atas jawabannya.

Jawaban Ustadz:

Memang ada kisah seperti itu, yaitu saat Umar bin Khattab rodiallahu’anhu masuk islam. Beliau rodiallahu’anhu berada di barisan depan, sedangkan Hamzah rodiallahu’anhu (paman Nabi shollallahu’alaihiwasallam) berada di belakang Umar rodiallahu’anhu. Sedangkan kaum muslimin (di kisah tersebut) berjalan di jalan-jalan kota Mekah di belakang keduanya.

Ketahuilah bahwa riwayat tersebut TIDAK SHAHIH, kisah tersebut diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Dalail dan di dalam Hilyah. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Ishaq bin Abdullah bin Abu Farwah, dan beliau dinilai matruk oleh para ulama pakar hadits (Silsilah Fatawa Syar’iyyah 1/14).

Catatan: Keterangan mengenai haramnya demokrasi dan demonstrasi insya Allah akan dibahas dalam artikel khusus. Silahkan melakukan pencarian dengan keywords “demonstrasi” pada website ini.

***

Penanya: Ummu

menetap di negara kafir tanpa mahrom

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullohi wabarakatuh
Ustad, saya seorang mahasiswi berumur 20 thn yg sekarang sedang kuliah di negeri yang mayoritasnya non muslim. saya berencana untuk menikah secepatnya, walaupun masih kuliah. Yang menjadi masalah disini adalah, setelah menikah kami harus hidup berpisah, karena beda daerah. memang, dari awal kami sudah tau resiko yg akan diambil. dan orang tua sudah sama sama tau. Bagaimana hukum nya nikah pisah ini ustad? bolehkah kami terus melanjutkan rencana ini? Jazakallahu khairon katsiro. Wassalamu’alaikum warahmatullohi wabarakatuh.

Jawaban Ustadz:

Syaikh Abdullah Al-Fauzan mengatakan, “Diantara kiat untuk selamat dari godaan di negeri kafir dengan izin Allah, hendaknya orang tersebut dan istrinya itu mendampinginya (saling mendampingi -ed) untuk menjaga kehormatannya dan melindunginya dari godaan syahwat yang haram jika orang tersebut ingin menetap di negara kafir semisal dalam rangka dakwah atau studi.” (Hushulul Ma’mul hal.174).

Meski secara hukum agama, isteri yang ditinggal oleh suaminya dengan kerelaan dari isteri itu diperbolehkan, akan tetapi jika isteri yang berada di negara kafir tanpa suaminya adalah sangat-sangat berbahaya - Haram - (semisal safar tanpa mahrom, godaan syahwat yang bebas lepas dll).

***

Penanya: Lathifah
Dijawab Oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar

membaiat imam

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya ingin menanyakan mengenai dalil-dalil yang berhubungan dengan membai’at imam. Apakah benar bahwa tidak syah islam seseorang tanpa membaiat seorang imam. Bahkan, Bukhori pun berbaiat pada imam di zamannya. Jaza kallohu khoiron.

Jawaban Ustadz:

Nabi bersabda:
“Barang siapa yang meninggal dunia dan di lehernya tidak ada ikatan bai’at maka orang tersebut mati jahiliyah.” (HR. Muslim no. 1850)

“Demikian ini karena orang jahiliyah adalah orang yang tidak tertata dalam artian mereka tidak mau tunduk kepada penguasa tertentu. Inilah kondisi di masa Jahiliyah.” (Syarah Masail Jahiliyah, Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 14).

Jelaslah bahwa Hadits tersebut TIDAK menunjukkan bahwa orang yang tidak punya ikatan bai’at itu kafir, akan tetapi orang tersebut mati dalam kondisi berbuat maksiat.

Akan tetapi, penguasa yang berhak untuk dibai’at adalah penguasa yang sebenarnya yang punya kekuasaan dan kedaulatan yang nyata (bukan penguasa bawah tanah).

Ibnu Taimiyah mengatakan “Nabi hanya memerintahkan untuk ta’at kepada penguasa yang dikenal dan memiliki kekuasaan sehingga bias mengatur urusan banyak orang. Tidak ada kewajiban taat terhadap orang yang tidak ada dan tidak dikenal, serta tidak ada kewajiban taat terhadap orang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan dan kekuasaan.” (Minhaj Sunnah Nabawiyah 1/115).

***

Penanya: Iwan
Dijawab Oleh: Ust. Abu Ukkasyah Aris Munandar

hukum merayakan valentine day

Pertanyaan:

Akhir-akhir ini telah merebak perayaan valentine’s day terutama di kalangan para pelajar putri, padahal ini merupakan hari raya kaum Nasrani. Mereka mengenakan pakaian berwarna merah dan saling bertukar bunga berwarna merah. Kami mohon perkenanan syaikh untuk menerangkan hukun perayaan semacam ini, dan apa saran syaikh untuk kaum muslimin sehubungan dengan masalah-masalah seperti ini. Semoga Allah menjaga dan memelihara syaikh.

Jawaban:

Tidak boleh merayakan valentine’s day karena sebab-sebab berikut:

  1. Pertama: bahwa itu adalah hari raya bid’ah tidak ada dasarnya dalam syari’at.
  2. Kedua: bahwa itu akan menimbulkan kecengengan dan kecemburuan.
  3. Ketiga: Bahwa itu akan menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara bodoh yang bertolak belakang dengan tuntunan para salaf radhiyallohu’anhum.

Karena itu pada hari tersebut tidak boleh ada simbol-simbol perayaan, baik berupa makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah ataupun yang lainnya.

Hendaknya setiap muslim merasa mulia dengan agamnya dan tidak merendahkan diri dengan menuruti setiap ajakan. Semoga Allah Subhanahu wata’alla melindungi kaum muslimin dari setiap fitnah, baik yang nyata maupun yang tersembunyi dan semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan bimbingan dan petunjuk-Nya.

Fatwa Syaikh Ibnu Ustaimin, tanggal 5/11/1420 H yang beliau tanda tangani

***

Pertanyaan:

Setiap tahunnya pada tanggal 14 februari sebagian orang merayakan valentine’s Day. Mereka saling bertukar hadiah berupa bunga merah, mengenakan pakaian berwarna merah, saling mengucapkan selamat dan sebagian toko atau produsen permen membuat atau menyediakan permen-permen yang berwarna merah lengkap dengan gambar hati, bahkan sebagian toko mengiklankan produk-produknya yang dibuat khusus untuk hari tersebut. Bagaimana pendapat syaikh tentang:

Pertama: Merayakan hari tersebut?
Kedua: Membeli produk-produk khusus tersebut pada hari itu?
Ketiga: Transaksi jual beli ditoko (yang tidak ikut merayakan) yang menjual barang yang bisa dihadiahkan pada hari tersebut kepada orang yang hendak merayakannya?
Semoga Allah membalas syaikh dengan kebaikan.

Jawaban:

Berdasarkan dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunah, para pendahulu umat sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam islam hanya ada dua; Idul Fitri dan Idul Adha selain itu semua hari raya yang berkaitan dengan seseorang, kelompok, peristiwa atau lainnya adalah bid’ah, kaum muslimin tidak boleh melakukannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya dan membantu terselenggaranya karena perbuatan ini merupakan perbuatan yang melanggar batas-batas Allah, sehingga dengan begitu pelakunya berarti telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Jika hari raya itu merupakan simbol orang-orang kafir, maka ini merupakan dosa lainnya, karena dengan begitu berarti telah ber-tasyabbuh dengan mereka dan loyal terhadap mereka di dalam kitab-Nya yang mulia dan telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum berarti ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Daud)

Valentine’s Day termasuk jenis yang disebutkan tadi, karena merupakan hari raya Nasrani, maka seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak boleh melakukannya, mengakuinya atau ikut mengucapkan selamat bahkan seharusnya meninggalkannya dan menjauhinya sebagai sikap taat terhadap Allah dan Rosul-Nya serta untuk membantu penyelenggaraan hari raya tersebut dan hari raya lainnya yang diharamkan baik itu berupa iklan dan sebagainya, karena semua ini termasuk tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta maksiat terhadap Allah dan Rosul-Nya sementara Allah Subhanahu wata’alla telah berfirman:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.” (QS. Al Ma’idah: 2)

Dari itu hendaknya setiap muslim berpegangteguh dengan Al kitab dan As sunah dalam semua kondisi lebih-lebih pada saat-saat terjadinya fitnah dan banyaknya kerusakan. Hendaknya pula ia benar-benar waspada agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan orang-orang yang dimurkai, orang-orang yang sesat dan orang-orang yang fasik yang tidak mengajarkan kehormatan dari Allah dan tidak menghormati Islam. Dan hendaknya seorang muslim kembali kepada Allah dengan memohon petunjuk-Nya dan keteguhan didalam petunjuk-Nya. Sesungguhnya tidak ada yang dapat memberi petunjuk selain Allah dan tidak ada yang dapat meneguhkan dalam petunjuk-Nya selain Allah Subhanahu Wata’alla. Hanya Allah-lah yang kuasa memberi petunjuk.

Salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da imah lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta (21203) tanggal 22/11/1420 H

jilbab warna putih

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warrohmatullahi wabarokatuh
Ana mau tanya, bolehkah seorang akhwat menggunakan jilbab dengan warna putih akan tetapi tebal tidak menerawang. Jazakumullah…

Jawaban Ustadz:

Seorang akhwat boleh memakai jilbab warna putih asalkan sesuai dengan syarat jilbab syar’i. Wallahu a’lam.

***

Penanya: Ummu Zaid
Dijawab: Ust. Khairul Wazni, Lc.

***

bolehkah wanita ikut ber organisasi

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum,
Saya adalah mahasiswa baru disebuah perguruan tinggi di Jawa Tengah. Di program studi yang saya ambil (psikologi) kebanyakan siswanya adalah wanita, oleh karena itu pengurus organisasi-organisasi kampus di program studi kami pun cenderung dijalankan oleh wanita, yang mau saya tanyakan:

  1. Bolehkah wanita aktif dalam organisasi,dalam hal ini organisasi yang ingin saya masuki adalah rohis?
  2. Seberapa jauh wanita boleh ikut dalam kegiatan-kegiatan di luar rumah?
  3. Batasan-batasan gerak seorang wanita itu seberapa jauh?

Sekian pertanyaan saya, saya harap Ustad bersedia menjawabnya. Saya sangat membutuhkan jawaban Ustad untuk pertimbangan langkah saya di dunia kampus yang baru saya hadapi. Terima Kasih. Jazakumullahu khair.

Jawaban Ustadz:

‘Alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh,
Wanita dibolehkan aktif dalam organisasi yang tidak bercampur dengan laki-laki, dan kegiatan organisasi tersebut tidak bertentang dengan sifat-sifat kewanitaan tetapi bergerak dalam hal membina kepribadian wanita yang sholehah, seperti dalam bidang ilmu agama (pengajian), keterampilan membina keluarga yang sakinah, kesehatan, dakwah dan sosial. Wanita tidak dilarang mengikuti kegiatan di luar rumah selama tidak berbaur dengan laki-laki serta dalam waktu dan tempat yang wajar, tidak dilakukan pada waktu atau pada tempat yang dapat mengundang fitnah.

Adapun batasan gerak seorang wanita, islam tidak membatasi wanita untuk keluar rumah seperti tidak boleh lebih dari sekian kali dalam sehari atau tidak boleh melebihi jarak sekian kilo meter, tetapi Islam mengatur, kalau keluar rumah harus menutup aurat dan dalam rangka ada keperluan bukan untuk mejeng kesana-sini, seperti untuk menuntut ilmu, ziarah karib kerabat atau teman, membeli kebutuhan keluarga dan sebagainya, kalau jarak memakan waktu satuhari-satu malam maka harus bersama mahram. Wallahu a’lam. (Silahkan baca buku-buku yang berbicara tentang kepribadian seorang muslimah).

***

Penanya: Dyah Permatasari
Dijawab Oleh: Ustadz Ali Musri

bolehkah wanita haidh ikut ta'ziyah

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warohmatullah wabarokatuh ustadz atau ustadzah, saya baru mengenal da’wah salaf. Beberapa waktu yang lalu, secara tidak sengaja saya mengikuti dauroh di masjid UGM kemarin. Saya ditanya bude saya, bolehkah wanita yg sdg haidl ikut ta’ziyah, tapi hanya datang ke rumah yang sedang ditimpa musibah, tidak sampai ikut ke pemakaman. Jazakumullohu khoiron katsir atas jawabanya.

Jawaban:

Kepada Ukhti Ummu Izzah, Assalamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh, alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad. Amma ba’du.

Sebelumnya, kami memohon maaf atas keterlambatan jawaban ini. Tidak ada yang patut kita ucapkan selain rasa syukur kepada Allah atas anugerah-Nya kepada hati kita yang telah jatuh cinta dengan manhaj Salaf, ridhwanullaahi ‘alaihim ajma’iin. Saudariku, kedudukan seorang wanita muslimah yang shalihah dalam pandangan salafush shalih adalah sangat terhormat. Karena dia adalah penanggung jawab ketenteraman rumah suaminya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Apalagi jika wanita tersebut adalah wanita yang memahami seluk beluk ajaran agama-Nya. Sebagaimana yang ada pada diri Ibunda ‘Aisyah radhiallahu ta’ala ‘anha yang telah berjasa besar menyampaikan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Sehingga beliau tercatat sebagai salah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Semoga Allah mengaruniakan kepada wanita-wanita muslimah di negeri kita dan di seluruh negeri kaum muslimin sikap tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya dan senantiasa menjaga kehormatan mereka.

Adapun yang ukhti tanyakan tentang hukum wanita mengikuti ta’ziyah padahal dia sedang haidh, maka sebatas yang kami ketahui seorang wanita yang haidh atau nifas (pendarahan karena melahirkan) itu dilarang untuk melakukan beberapa hal yaitu: sholat atau thawaf di Ka’bah, berpuasa dan berhubungan suami istri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sholat tidak akan diterima tanpa suci.” (HR. Muslim)

Thawaf juga tidak boleh karena Nabi menyebut thawaf termasuk sebagai sholat. Beliau bersabda, “Thawaf mengelilingi Ka’bah adalah sholat, hanya saja Allah membolehkan bercakap-cakap di dalamnya.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan Syaikh Abdul ‘Azhim Badawi, Shahih Jami’ush Shaghir no. 3954, Al Wajiz, hal. 38).

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Dahulu kami mengalami haidh di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kami pun diperintahkan untuk mengqadha’ (mengganti) puasa (di hari lain) dan kami tidak diperintahkan mengqadha’ sholat.” (Muttafaq ‘alaih)

Sedangkan larangan berhubungan intim bagi wanita haidh terdapat dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lakukanlah apapun kecuali hubungan intim.” (HR. Muslim, dll Shahih Jami’ush Shaghir 527, Al Wajiz, hal. 52)

Adapun larangan bagi kaum wanita dan juga kaum pria ketika terjadi musibah kematian di antara mereka ialah:

  1. Meratapi mayit (niyahah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perempuan yang meratap dan tidak bertaubat sebelum matinya maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dalam keadaan mengenakan jubah dari ter dan dibungkus baju dari kudis.” (HR. Muslim, Ash Shahihah 734, Al Wajiz, hal. 162).
  2. Menampar-nampar pipi dan merobek-robek kain pakaian sebagai ekspresi perasaan tidak terima dengan takdir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
  3. Mencukur rambut karena tertimpa musibah. Sahabat Abu Musa mengatakan, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari shaaliqah, haaliqah dan syaaqqah.” (Muttafaq ‘alaih). Shaaliqah adalah perempuan yang menangis dengan keras-keras. Haaliqah adalah perempuan yang mencukur rambutnya ketika tertimpa musibah, sedangkan Syaaqqah adalah wanita yang menyobek-nyobek pakaiannya karena tidak terima dengan ketetapan takdir dari Allah (lihat Al Wajiz, hal. 162, Taisirul ‘Allaam, I/319).
  4. Mengurai atau mengacak-acak rambut. Hal ini berdasarkan salah satu isi janji setia kaum wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu, “(Kami berjanji) untuk tidak mengacak-acak rambut (ketika tertimpa musibah).” (HR. Abu Dawud, Al Jana’iz, hal. 30, shahih, lihat Al Wajiz hal. 162).

Sedangkan amalan yang sangat dianjurkan adalah menyolati jenazah dan mengikuti iringan jenazahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menyolati jenazah dan tidak ikut mengiringi jenazahnya maka dia mendapat pahala satu qirath. Dan apabila dia juga mengiringinya maka dia mendapat pahala dua qirath” Ditanyakan kepada beliau, “Apa maksud dari dua qirath?” Beliau menjawab, “Yang terkecil dari keduanya (satu qirath) ialah serupa dengan besarnya Gunung Uhud.” (HR. Muslim). Akan tetapi keutamaan mengikuti iringan jenazah ini hanya berlaku bagi kaum lelaki, bukan bagi kaum perempuan. Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Kami (kaum wanita) dilarang untuk mengikuti iringan jenazah namun beliau tidak keras dalam melarangnya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dan termasuk amalan yang disyariatkan ialah melakukan ta’ziyah. Ta’ziyah ialah menyuruh keluarga yang ditinggal mati untuk bersabar, membuat mereka terhibur dan tabah sehingga akan meringankan penderitaan yang mereka rasakan dan mengurangi kesedihan hati mereka. Ini bisa dilakukan oleh kaum laki-laki maupun wanita. Nabi bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menta’ziyahi saudaranya karena musibah yang menimpanya melainkan Allah ‘azza wa jalla memberinya pakaian kemuliaan pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad jayyid, Ensiklopedi Muslim, hal. 391). Hal itu bisa dilakukan dengan menyampaikan nasihat dan ucapan yang baik kepada keluarganya, semacam mengatakan, “Sesungguhnya hak Allah untuk mengambil sesuatu yang menjadi milik-Nya. Dan Dia lah yang berhak menarik apa yang sudah diberikan. Dan segala sesuatu sudah ditetapkan ajalnya maka sabar dan harapkanlah pahala.” (lihat Ensiklopedi Muslim, hal. 391, Al Wajiz, hal. 181, Ukhti juga bisa mendapatkan bimbingan audio visual penyelenggaraan Jenazah di dalam VCD Tata Cara Penyelenggaraan Jenazah yang diterbitkan oleh saudara-saudara kami yang tergabung dalam Al Markaz production, semoga Allah mengganjar mereka dengan pahala sebesar-besarnya).

Ketika melakukan ta’ziyah seyogyanya dijauhi dua perkara yaitu:

Pertama, sengaja berkumpul-kumpul di tempat kematian; seperti di rumahnya, pekuburan atau di masjid.

Kedua, keluarga mayit membuatkan makanan bagi para pelayat.

Kedua hal ini terlarang berdasarkan ijma’ (konsensus) para Sahabat. Jarir bin Abdullah Al Bajali radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Kami (para sahabat) mengategorikan perbuatan berkumpul-kumpul di tempat keluarga mayit serta membuat jamuan makan (untuk pelayat) sesudah penguburannya adalah termasuk niyahah (meratapi mayit).” (HR. Ibnu Majah, Shahih Ibnu Majah 1308) dan meratapi mayit adalah haram.

Adapun amalan yang dituntunkan ialah kerabat atau tetangga-tetangganyalah yang membuatkan makanan untuk keluarga si mayit. Karena ketika diumumkan kematian Ja’far yang terbunuh dalam perang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena sesungguhnya mereka telah tertimpa urusan yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud, dll). Sunnah inilah yang dipegang oleh Imam Syafi’i rahimahullah (lihat Al Munakhkhalah, hal. 66). Imam Asy Syafi’i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul di rumah ahli mayit ini, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab Al Umm, sebagai berikut, “Aku tidak menyukai ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 248, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan Menurut Mazhab Syafi’i, hal. 18). Lalu apa yang harus dilakukan? Imam Syafi’i mengatakan, “Dan aku menyukai, bagi jiran (tetangga) mayit atau sanak kerabatnya, membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, dan amalan yang demikian itu adalah sunnah (tuntunan Nabi).” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 247, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan Menurut Madzhab Syafi’i, hal. 27). Lihatlah keadaan sebagian orang yang mengaku bermazhab Syafi’i di negeri ini yang tenggelam dalam penyimpangan dari Sunnah Nabi ini, jauh sekali mereka dengan ajaran gurunya. Wallaahul musta’aan.

Dan apabila mayit telah dikuburkan maka kaum wanita dilarang sering-sering melakukan ziarah kubur. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat (dalam riwayat lain: Allah melaknat) para wanita yang sering berziarah kubur (zawwaraatul qubur).” (HR. Tirmidzi II/156 dan Ibnu Majah I/478) (lihat Ensiklopedi Fatwa Syaikh Albani, hal. 179, Al Munakhkhalah, hal. 66).

Adapun apabila hal itu dilakukan oleh kaum wanita tidak secara berulang-ulang maka para ulama berselisih pendapat; ada yang memakruhkan (hadits di atas adalah salah satu dalil mereka) dan ada yang membolehkan (mereka berdalil dengan perbuatan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menziarahi kuburan saudaranya Abdurrahman). ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan, “Ya, dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ziarah kubur kemudian beliau memerintahkannya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dan dishahihkan Adz Dzahabi) (lihat Ensiklopedi Muslim, hal. 394)

Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa dalam masalah ziarah kubur bagi wanita para ulama terbagi menjadi 4 pendapat, ada yang mengharamkannya, ada yang memakruhkan, ada yang membolehkan dan ada yang menyunahkannya. Dan dalam hal ini Syaikh ‘Utsaimin menguatkan pendapat yang mengharamkan.

Sedangkan pendapat yang dipilih oleh para ulama ahli tahqiq (penelitian) seperti Al Qurthubi, Ash Shan’ani, Asy Syaukani dan juga dipilih oleh Imam Al Albani (dalam Ahkamul Janaa’iz, hal. 235) ialah mengharamkan wanita sering-sering berziarah kubur namun beliau juga mengatakan bahwa pada asalnya wanita juga disunahkan berziarah berdasarkan keumuman hadits. Adapun teks riwayat hadits di dalam kitab-kitab Sunan yang menceritakan bahwa Nabi melaknat Zaa’iraatul Qubur (artinya: para wanita peziarah kubur, tidak menunjukkan makna sering) adalah riwayat yang mungkar dan lemah karena di dalam rantai periwayatannya ada seorang periwayat yang bernama Abu Shalih bekas budak Ummu Hani’ bintu Abu Thalib yang bernama Badzam atau Badzan dan dia adalah periwayat yang dha’if/lemah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Ahkamul Janaa’iz.

Larangan lainnya adalah menyembelih hewan di atas kubur berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud dengan sanad shahih dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada penyembelihan di atas kubur di dalam Islam.” Wallahu a’lam. (lihat Al Munakhkhalah An Nuniyah, hal. 66, Ensiklopedi Fatwa Syaikh Albani, hal. 179, silakan baca pula Ringkasan Hukum-Hukum Lengkap Masalah Jenazah karya Syaikh Ali bin Hasan penerbit Putsaka Imam Bukhari).

Nah, berdasarkan hadits-hadits dan keterangan-keterangan para ulama yang kami ketahui ini ternyata tidak disebutkan adanya larangan bagi kaum wanita yang haidh untuk ikut berta’ziyah. Sehingga pertanyaan Bude Ukhti tersebut sudah terjawab; bahwa sekedar mengunjungi rumah orang yang ditimpa musibah untuk menghiburnya (ingat ya, bukan untuk berkumpul-kumpul dan bukan untuk mengikuti jamuan makan di sana) maka hal itu diperbolehkan bagi wanita haidh berdasarkan dalil-dalil umum yang ada. Dan perbuatan wanita tersebut untuk tidak mengikuti sampai pemakaman adalah sudah benar, sebagaimana penjelasannya sudah disampaikan di depan.

Alhamdulillah. Dan apabila ada pendapat yang lebih kuat dari pendapat ini maka kami siap untuk rujuk kepada al haq. Karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti. Wallahu a’lam bish shawaab. Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

***

Penanya: Ummu Izzah
Dijawab oleh: Ustadz Abu Muslih Ari Wahyudi

pembukuan al-qur'an

Pertanyaan:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ustadz, ana adalah seorang ikhwan yang masih belajar ilmu syar’i yang - Alhamdulillah - ana tuntut dari ustadz salafi. Ana pernah berdiskusi dengan orang yang berpikiran sekuler yang menyatakan bahwa menurut tinjauan politik ( karena dia kuliah di fakultas politik universitas negeri terkenal di Yogyakarta ), mushaf Al-qur’an yang telah ada di tangan kaum muslimin sekarang ini adalah mushaf Ustmani. Dia menyatakan bahwa pada masa pemerintahan sahabat Ustman r.a ada pergolakan politik antara Ustman r.a. dengan Ali bin Abi Thalib r.a. Karena pergolakan politik inilah, Ustman yang merupakan khalifah pertama yang membukukan al - qur’an tidak mau mengambil hafalan al - qur’an dari para sahabat pendukung Ali r.a. Ana jadi kasihan sama dia karena dia terpengaruh pemikiran sekuler. Tolong ustadz memberikan penjelasan tentang hal ini ! dan bagaimana saya memberikan nasehat padanya tentang hal ini ? Atas perhatian dan jawaban ustadz, saya ucapkan jazakallah khairan. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jawaban Ustadz:

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, sahabat dan setiap orang yang meniti jalannya hingga hari kiamat, amiin.

Langsung saja, ucapan orang tersebut membuktikan bahwa ia tidak paham/tidak pernah membaca sejarah umat islam. Sebab khalifah pertama yang membukukan/mengumpulkan Al Quran adalah khalifah Abu bakar As Shiddiq rodhiallohu ‘anhu, dan bukan khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu. Yang dilakukan oleh sahabat Utsman bin Affan adalah menyatukan bacaan Al Quran dengan menggunakan logat bahasa orang-orang Quraisy, tak lebih dan tak kurang dari itu. Adapun pembukuan Al Quran pertama dilakukan pada zaman Abu Bakar, akan tetapi kala itu tidak disatukan dengan satu logat. Karena perlu diketahui bahwa Al Quran diturunkan oleh Alloh dalam tujuh logat bahasa Arab, dan dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan/membolehkan seluruh bacaan Al Quran tersebut, dengan berbagai perbedaan logat bahasa. Akan tetapi karena perbedaan logat bahasa ini menimbulkan perselisihan di tengah-tengah umat Islam, yaitu pada masa Utsman bin Affan, maka beliau memerintahkan agar seluruh umat islam membaca Al Quran dengan satu logat, yaitu logat orang-orang Quraisy dan pembukuannya pun disesuaikan dengan logat tersebut. Inilah ringkas cerita yang terjadi pada masa khalifah Utsman bin Affan. Bukan seperti yang dikatakan oleh orang tersebut.

Sebab kedua, tidak pernah ada di zaman khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu terjadi pergolakan politik antara Khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu dengan sahabat Ali bin Abi Thalib rodhiallohu ‘anhu. Bahkan sahabat Ali bin Abi Thalib rodhiallohu ‘anhu adalah salah seorang kepercayaan Khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu. Sehingga ini adalah salah satu bukti besar bahwa orang tersebut over acting, mentang-mentang belajar ilmu politik, kemudian dengan sembarangan berkomentar tentang Islam dan sejarah Islam. Dan menganalisa berbagai kejadian sejarah islam berdasarkan kaidah-kaidah ilmu politik yang ia pelajari, walaupun kaidah-kaidah tersebut menyelisihi prinsip-prinsip agama islam.

Umat Islam apalagi para sahabat tidaklah jahat semacam para politikus yang ia kenal. Umat Islam, apalagi para sahabat memiliki hati nurani yang bersih dan jujur lagi obyektif dalam menyikapi setiap masalah. Dan sikap mereka senantiasa mencerminkan bahwa mereka berjiwa luhur dan penuh iman kepada Alloh dan hari pembalasan. Mereka tidak mengenal penghalalan segala macam cara untuk mencapai tujuan, apalagi sampai memanipulasi atau menolak kebenaran karena hanya faktor kepentingan pribadi atau golongan. Kejiwaan para sahabat jauh dan terlalu luhur bila dibanding dengan beraneka ragam manusia yang hidup di zaman ini, apalagi para politikus yang kebanyakannya berhati kejam, tidak kenal kemanusiaan dalam mencapai tujuannya.

Dengan pendek kata, ucapan orang itu merupakan tuduhan dan celaan terhadap sebagian sahabat, yaitu sahabat Khalifah Utsman bin Affan rodhiallohu ‘anhu, tuduhan ia telah mementingkan kepentingan pribadi daripada Al Quran dan umat Islam seluruhnya. Ini adalah tuduhan hina nan keji, tidak layak keluar dari seorang yang beriman kepada Alloh dan hari Akhir. Alloh berfirman:

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعاً سُجَّداً يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَاناً سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً

“Muhammad itu adalah utusan Alloh, dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir tetapi berkasih sayang sesama mereka: Kamu melihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Alloh dan keridhoan Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus diatas pokoknya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Alloh dengan mereka hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” (QS. Al Fath: 29)

Oleh karena itu Imam Malik bin Anas berdalilkan dengan ayat ini bahwa orang-orang rafidhah (syi’ah) adalah kafir, karena mereka telah membenci para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal Alloh telah menyatakan orang-orang kafirlah yang membenci para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga jawaban pendek ini cukup memberikan gambaran betapa sesatnya ucapan orang tersebut, wallohu a’alam bisshawab. Wassalamu ‘alaikum warahmatullah.

***

Penanya: Rizki Mula
Dijawab Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri

kiat membuang pikiran kotor

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum,
Ustadz, saya ingin bertanya: Bagaimana caranya untuk menghilangkan pikiran kotor? karena hal itu membuat saya tidak bisa konsentrasi dalam belajar. Apakah saya harus diruqyah? dan apakah saya harus segera menikah? terima kasih. Wassalamu’alaikum.

bolehkah mandi junub merangkap jumat

Pertanyaan:

Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya: Apakah dibolehkan melaksanakan mandi junub sekaligus merangkap mandi untuk shalat Jum’at, mandi setelah habis masa haidh dan masa nifas?